Pertempuran Serpong, Antara Jihad Fisabilillah dan Kurangnya Koordinasi 

Pertempuran Serpong, Antara Jihad Fisabilillah dan Kurangnya Koordinasi 

Smallest Font
Largest Font

Tangsel--Banyak kisah dari beragam sumber yang tertulis akan peristiwa yang terjadi di Serpong Tangerang Selatan 79 tahun yang silam ini. Mulai dari saksi hidup, pelaku sejarah dan sumber2 arsip nasional mengisahkan bagaimana peristiwa heroik ini bisa terjadi di wilayah Serpong. 

Dan untuk memulai kisah tersebut saya berangkat ketika belum beranjaknya tentara NICA dari wilayah Serpong pada tahun 1946. Padahal secara devakto kemerdekan RI telah di Proklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Tentara NICA ternyata ingin tetap menjalankan rencananya untuk menguasai wilayah Serpong melalui Agresi Militer Belanda 1 yang akan direncanakan pada tanggal 21 Juli sampai 5 Agustus 1947. Mereka ingin menjadikan Serpong sebagai batu loncatan untuk menguasai Kota Tangerang. 

Kedatangan serdadu-serdadu NICA (KL dan KNIL) ke wilayah Serpong dapat dikatakan kurang mendapat perlawanan yang berarti di masyarakat. Hal ini disebabkan oleh perhatian rakyat Serpong yang masih terpengaruh oleh Peristiwa Lengkong yang mengakibatkan terbunuhnya 34 taruna, dan 3 perwira (Mayor Daan Mogot.Cs). 

Di samping itu juga disebabkan karena Rasimen IV Tangerang yang bertanggungjawab atas pertahanan di Tangerang beserta Barisan perjuangan setempat sedang mengkonsolidasikan diri selepas peristiwa penyerobotan pemerintahan yang dipimpin oleh H. Achmad Chaerun.

Pasukan NICA yang berkedudukan di sekitar perkebunan karet di Serpong dari hari ke hari selalu mengadakan intimidasi terhadap rakyat setempat. Keadaan ini bila dibiarkan terus niscaya akan mengancam kehidupan penduduk serta melemahkan kewibawaan pemerintah RI, karena itulah pejuang republik berusaha menghancurkan dan mengusir NICA dari wilayah Serpong.

Salah satu gerakan untuk mengusir tentara NICA tersebut dipelopori oleh Haji Ibrahim, seorang Ulama yang mempunyai pengaruh besar di kalangan pejuang, terutama pejuang muslim. Dalam waktu singkat terhimpun kekuatan yang besar dari Maja. Dan dukungan rakyat untuk mengusir tentara NICA yang benar-benar dapat diandalkan sehubungan dengan kerelaan hati mereka dalam pertempuran sahid. Tangan kanan Haji Ibrahim bernama Abuyah Hatim bertindak sebagai pemimpin pasukan bambu runcing dalam pasukan Haji Ibrahim tersebut. 

Basis pertahanan republik waktu itu terletak di Cisawo, terkenal dengan Front Pertahanan Sompor. Dimana TKR bersama para pejuang bekerjasama untuk menggalang kekuatan dalam menghadapi tentara Belanda. 

Pada tanggal 23 Mei 1946 pasukan Haji Ibrahim dan Abuyah Hatim mulai bergerak dari Maja, umumnya mereka menggunakan senjata tradisional berupa: golok, pedang, dan bambu runcing. Dengan kereta api mereka menuju Parung Panjang, dari sini perjalanan dilanjutkan ke desa Suradita, untuk kemudian beristirahat di daerah tersebut. 

Tanggal 24 Mei 1946, Abuyah Hatim beserta pasukannya bergerak menuju Kranggan termasuk desa Kademangan. Gerakan ini sengaja dilakukan dengan maksud agar anak buah Hatim dapat mengatur siasat dan mencari kedudukan yang penting, untuk selanjutnya ditempati oleh induk pasukan yang berada di bawah pemimpin Haji Ibrahim. 

Sehari kemudian Haji Ibrahim dan pasukannya menuju ke Kranggan untuk bergabung dengan Abuyah Hatim. Di Kranggan inilah mereka mengucapkan ikrar untuk bertekad mengadakan penyerbuan terhadap pasukan Belanda dan tekad ini tidak dapat dihalangi oleh siapa pun. 

Malam harinya diadakan pertemuan untuk mengatur siasat dan membagi tugas serta menetapkan waktu dimulainya gerakan. Pagi harinya Kamis tanggal 26 Mei 1946 jam 09.30 bergeraklah iring-iringan pasukan Ibrahim dari Kranggan dengan menyerukan takbir "Allahuakbar Allahuakbar Allahuakbar" yang selanjutnya merupakan Takhmid/Takbir yang mengalun sepanjang perjalanan yang mereka tempuh.

Rakyat sepanjang jalan dilaluinya terpaut oleh takbir yang menggema, terbakar semangatnya untuk kemudian ikut bergabung dengan pasukan yang bergerak menuju medan laga.

Sesuai dengan rencana gerakan, pasukan dibagi menjadi dua. Pasukan Abuyah Hatim bergerak melalui jalan Setu Rawa Buntu, kemudian masuk ke Cilenggang, desa sekitar kedudukan musuh, untuk mengadakan gerakan menusuk musuh dari belakang. Pasukan utama di bawah pimpinan Haji Ibrahim bergerak terus melalui jalan raya desa ke Serpong, langsung menghantam kedudukan musuh dari depan. 

Perkembangan terjadi kemudian adalah terjadinya pengosongan desa di dekat medan pertempuran. Penduduk di sekitar daerah Jeletreng kampung Cilenggang meninggalkan rumah-rumah mereka untuk menghindari kejadian yang tidak diinginkan.

Kesatuan resimen VI yang berada di front terdepan melihat situasi bahwa persenjataan yang dibawa oleh Haji Ibrahim tidak memadai, maka jika tidak dicegah akan sangat merugikan mereka. Pihak resimen VI memberikan saran agar gerakan diundurkan untuk selanjutnya menunggu waktu untuk bersama-sama menggempur NICA dengan koordinasi yang baik. Usaha ini tidak berhasil meyakinkan laskar Haji Ibrahim yang semangatnya sudah terbakar. 

Kedudukan pasukan NICA pada saat itu mengambil tempat disebuah rumah kepunyaan seorang China. Gerakan Haji Ibrahim ini sudah tercium oleh serdadu mereka melalui mata-matanya, sehingga serdadu Belanda sempat mempersiapkan diri. 

Segera pasukan Belanda menempati dua bukit yang ada di kiri dan kanan jalan menuju Serpong yang mengarah ke markas mereka. Serdadu-serdadu Belanda dengan persenjataan mutahir menghadapi iring-iringan laskar.

Kedatangan laskar Rakyat dengan jumlah yang besar ini menggoyahkan kedudukan tentara Belanda, karena itu mereka bermaksud melakukan tipu daya. Beberapa serdadu Belanda keluar dari persembunyian dengan membawa bendera putih menyongsong laskar Haji Ibrahim, seolah-olah mereka ingin berdamai agar pasukan mengurungkan niatnya. Namun begitu seradu Belanda mendekat, terdengar seruan Allahhuakbar! 

Lalu seorang pejuang maju kedepan dan mengayunkan goloknya ke arah leher serdadu Belanda. Serdadu itu roboh, lalu kejadian itu segera disambut dengan dentuman peluru-peluru dari arah kiri dan kanan perbukitan dimana pasukan Belanda telah bersiap siaga. 

Pertempuran terjadi dalam jarak yang cukup dekat, laskar Haji Ibrahim mengamuk sekenanya dengan senjata yang ada di tangan mereka. Tak bedanya dengan para serdadu NICA yang menembak secara membabi buta dengan senapan mesin mereka. Dengan persenjataan yang tak seimbang ini laskar Haji Ibrahim berhasil dicerai beraikan, korban yang jatuh mencapai 189 orang. Namun sumber lain menyebutakan 147 jiwa.

Kalau dilihat dari banyaknya laskar yang telah gugur, dapat diperkirakan pertempuran itu telah berlangsung seru dan penuh kekejaman. Semula korban pertempuran itu dikuburkan oleh tentara NICA seadanya. Dengan kesadaran rakyat mereka yang telah gugur ini dikebumikan kembali dengan sebagai mana mestinya. 

Dan untuk memperingati jasa para pahlawan tersebut diatas makam-makam tersebut didirikan sebuah tugu perjuangan oleh warga Serpong. Kemudian pada masa pemerintahan Orde Baru makam-makam tersebut dipindahkan ke lahan fasilitas sosial BSD (taman tekhno) yang sekarang dikenal dengan nama Makam Pahlawan Seribu. (*)

Wallahu a'alm

Sumber:

Sejarah Kabupaten Tangerang, 1992. hal.128Dinas Sejarah Kodam V/Jaya, Op.Cit., (Hal. 87-125)

Penulis:  Agam Pamungkas Lubah

Editors Team
Daisy Floren
Daisy Floren
Redaksi Author

What's Your Reaction?

  • Like
    0
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow